beritabandar – Menteri Sekretaris Negara, Pramono Anung, menegaskan bahwa praktik masyarakat yang kerap dikenal sebagai “Pak Ogah” dalam mengatur lalu lintas tidak boleh lagi dibiarkan. Menurutnya, pengaturan arus kendaraan adalah wewenang penuh aparat kepolisian, bukan individu atau kelompok masyarakat. Penegasan ini menjadi sorotan publik karena fenomena “Pak Ogah” sudah lama ditemui di berbagai persimpangan jalan, terutama di kota-kota besar.
Latar Belakang Larangan terhadap “Pak Ogah”
Fenomena “Pak Ogah” muncul sejak lama, ketika sejumlah orang secara sukarela—atau bahkan untuk mendapatkan imbalan—turut mengatur arus lalu lintas di persimpangan. Praktik ini marak terutama di titik-titik rawan macet atau di jalan tanpa lampu lalu lintas. Meski kerap dianggap membantu, keberadaan mereka sering memunculkan masalah baru, mulai dari potensi kecelakaan, pungutan liar, hingga tindakan premanisme. Inilah yang kemudian mendorong Pramono menekankan pentingnya peran resmi aparat kepolisian dalam menangani lalu lintas.
Alasan Pentingnya Wewenang Polisi
Pramono menjelaskan bahwa lalu lintas merupakan bagian dari sistem keamanan dan ketertiban umum. Karena itu, hanya polisi yang memiliki kewenangan dan pelatihan khusus untuk mengatur kendaraan di jalan raya. Jika kewenangan ini dijalankan pihak non-resmi, risiko kesalahan dalam pengaturan lalu lintas semakin besar. Tidak hanya membahayakan pengguna jalan, kondisi tersebut juga berpotensi menimbulkan sengketa di lapangan. Dengan kata lain, larangan ini bukan untuk membatasi masyarakat berinisiatif, melainkan demi keselamatan bersama.
Respon Masyarakat dan Tantangan Lapangan
Larangan yang disampaikan Pramono menuai beragam tanggapan. Sebagian masyarakat mendukung langkah ini karena sering merasa tidak nyaman dengan adanya pungutan liar yang dilakukan oknum “Pak Ogah”. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa kehadiran mereka terkadang membantu di titik-titik macet, terutama ketika polisi tidak terlihat. Tantangan terbesar adalah bagaimana aparat kepolisian dapat hadir lebih konsisten di lapangan, sehingga kebutuhan masyarakat akan kelancaran lalu lintas tetap terpenuhi tanpa harus mengandalkan pihak non-resmi.
Perspektif Hukum dan Ketertiban
Dari sisi hukum, fenomena “Pak Ogah” jelas bertentangan dengan aturan lalu lintas yang berlaku. Tugas mengatur arus kendaraan termasuk dalam fungsi resmi kepolisian lalu lintas. Jika dibiarkan, keberadaan “Pak Ogah” bisa menciptakan preseden buruk bahwa aturan dapat digantikan oleh tindakan informal. Beberapa pakar menegaskan, penertiban fenomena ini harus dilakukan secara terintegrasi, tidak hanya dengan melarang, tetapi juga memberikan solusi yang komprehensif. Media daring seperti mabar turut mengangkat isu ini sebagai refleksi pentingnya ketertiban di ruang publik.
Langkah Pemerintah dan Harapan ke Depan
Pramono memastikan pemerintah akan berkoordinasi dengan kepolisian untuk menertibkan fenomena “Pak Ogah”. Salah satu langkah yang direncanakan adalah meningkatkan patroli polisi lalu lintas di titik-titik rawan, serta mempercepat pemasangan fasilitas lampu lalu lintas di persimpangan. Selain itu, pendekatan persuasif kepada masyarakat juga dinilai penting, agar mereka memahami alasan pelarangan ini. Ke depan, diharapkan lalu lintas kota dapat lebih tertib, aman, dan teratur tanpa harus mengandalkan pihak-pihak non-resmi yang berpotensi menimbulkan risiko keselamatan.
