
Langkah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membuka kembali 28 juta rekening dormant atau rekening tidak aktif, memantik sorotan publik luas. Pasalnya, kebijakan ini diambil setelah sebelumnya PPATK melakukan pemblokiran massal terhadap rekening-rekening tersebut tanpa pemberitahuan langsung ke pemilik rekening. Banyak pihak mempertanyakan mekanisme, urgensi, hingga landasan hukum dari tindakan ini, apalagi mengingat dampaknya yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Dalam beberapa minggu terakhir, isu ini ramai dibahas di media sosial, terutama setelah sejumlah nasabah mengeluhkan tidak bisa mengakses rekening mereka. Bahkan beberapa di antaranya mengaku tak mengetahui bahwa rekening milik mereka dianggap tidak aktif dan tiba-tiba diblokir. Masyarakat pun mulai mempertanyakan sejauh mana kewenangan PPATK dalam membekukan rekening tanpa prosedur notifikasi yang jelas.
Awal Mula Polemik Pemblokiran Massal
Kebijakan pemblokiran rekening dormant bermula dari upaya PPATK untuk menindak praktik jual beli rekening bank yang kian marak, terutama yang digunakan dalam aktivitas ilegal seperti judi online, penipuan daring, hingga tindak pencucian uang. Dalam pandangan PPATK, rekening yang sudah lama tidak digunakan, tidak memiliki aktivitas transaksi, dan tidak pernah dilaporkan ke bank untuk ditutup, bisa menjadi celah bagi para pelaku kejahatan untuk “membeli” dan “menghidupkan kembali” rekening tersebut demi aktivitas kriminal.
Sejak awal 2025, PPATK mulai mengidentifikasi jutaan rekening pasif berdasarkan data transaksi dari berbagai bank. Berdasarkan analisis tersebut, sekitar 28 juta rekening dianggap dalam status dormant dan diblokir sementara sembari menunggu proses verifikasi.
Namun langkah ini tidak dilakukan tanpa risiko. Beberapa rekening ternyata masih digunakan oleh pemilik sahnya untuk menabung dalam jangka panjang tanpa banyak aktivitas, atau memang sengaja tidak diaktifkan dalam waktu tertentu karena alasan pribadi. Ketika pemilik rekening tidak bisa lagi mengakses dana mereka, polemik pun mencuat.
Dibuka Lagi Setelah Verifikasi
Menanggapi keresahan masyarakat dan dorongan dari sejumlah pihak, PPATK akhirnya membuka kembali akses ke 28 juta rekening dormant tersebut. Proses pembukaan dilakukan secara bertahap, terutama bagi rekening yang sudah terverifikasi kepemilikannya dan tidak ditemukan indikasi tindak pidana.
Menurut juru bicara PPATK, proses verifikasi melibatkan kerja sama dengan perbankan nasional. Nasabah diminta untuk menghubungi pihak bank guna mengonfirmasi identitas dan aktivitas rekening mereka. Setelah dipastikan bahwa tidak ada kaitan dengan aktivitas ilegal, rekening akan diaktifkan kembali seperti semula.
Langkah ini disambut baik oleh sebagian masyarakat yang merasa dirugikan, namun tidak sedikit pula yang menilai PPATK seharusnya sejak awal memberikan sosialisasi yang lebih masif dan transparan. Banyak nasabah merasa bingung karena tiba-tiba tidak bisa menarik uang tanpa tahu alasan pasti di baliknya.
Sorotan DPR dan Lembaga Perlindungan Konsumen
Komisi III DPR RI menyatakan akan memanggil pihak PPATK untuk meminta klarifikasi secara menyeluruh mengenai dasar pemblokiran tersebut. Beberapa anggota DPR bahkan menyebut bahwa tindakan seperti ini bisa berpotensi melanggar hak kepemilikan atas harta benda, apalagi jika tidak ada indikasi pelanggaran hukum dari pemilik rekening.
Selain DPR, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga mengkritik langkah pemblokiran yang dinilai dilakukan secara sepihak. YLKI menekankan pentingnya transparansi dan kejelasan prosedur dalam setiap langkah yang diambil oleh lembaga negara, terlebih yang berdampak langsung pada akses finansial masyarakat.
Menurut YLKI, rekening yang tidak aktif bukan berarti tidak sah. Bisa saja digunakan untuk menyimpan dana darurat, tabungan jangka panjang, atau bahkan sekadar rekening cadangan yang tidak digunakan dalam periode tertentu. Oleh karena itu, pemblokiran tanpa notifikasi terlebih dahulu dianggap sebagai tindakan yang kurang berpihak pada hak konsumen.
Tujuan Mulia, Eksekusi yang Kurang Matang
Di sisi lain, banyak pengamat memahami bahwa niat PPATK untuk memerangi kejahatan finansial memang patut diapresiasi. Modus jual beli rekening memang tengah marak, bahkan menjadi celah utama bagi pelaku penipuan daring. Rekening-rekening ini biasanya digunakan sekali untuk menerima dana ilegal, lalu dibiarkan begitu saja.
Namun, eksekusi kebijakan ini dianggap terlalu terburu-buru dan kurang mempertimbangkan faktor sosial. Di tengah meningkatnya penggunaan layanan keuangan digital, akses terhadap rekening menjadi sangat vital bagi masyarakat, apalagi bagi mereka yang menggantungkan penghasilan harian lewat transaksi daring. Kesalahan kecil dalam penanganan dapat berdampak besar bagi kehidupan finansial masyarakat.
Refleksi untuk Semua Pihak
Kasus rekening dormant ini memberi pelajaran penting bagi semua pihak. PPATK sebagai lembaga negara yang menangani transaksi keuangan perlu mengedepankan komunikasi yang lebih baik ke publik. Sementara masyarakat juga perlu lebih aktif dalam mengelola dan memantau rekening yang mereka miliki, terutama jika memiliki banyak rekening yang jarang digunakan.
Kejadian ini juga menunjukkan betapa pentingnya transparansi dalam kebijakan publik. Dalam era digital yang serba cepat, tindakan sepihak tanpa penjelasan memadai bisa memicu krisis kepercayaan, bahkan terhadap lembaga yang memiliki niat baik.
Rekening yang semula dianggap “nganggur”, ternyata menyimpan sensitivitas yang besar dalam kehidupan masyarakat. PPATK memang telah membuka kembali akses ke jutaan rekening tersebut, namun polemik ini tak bisa dianggap selesai begitu saja. Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan, baik dalam aspek teknis maupun etika kebijakan publik.
Untuk terus mengikuti perkembangan isu seperti ini dan kabar penting lainnya dari dunia keuangan dan kebijakan nasional, kamu bisa temukan informasi terupdate di DailyInfo, tempat terpercaya untuk berita yang relevan, jelas, dan valid.