beritabandar – Nama Susi Pudjiastuti kembali menjadi sorotan publik. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ini dikenal luas dengan karakter vokalnya dalam menjaga laut Indonesia dari praktik yang merusak. Kali ini, Susi angkat suara soal maraknya keramba jaring apung di perairan Danau Toba yang menurutnya merusak ekosistem dan keindahan kawasan wisata tersebut.
Lewat akun media sosialnya, Susi melayangkan protes terbuka yang menyinggung dua tokoh besar sekaligus: Dedi Mulyadi, politisi dan mantan Bupati Purwakarta, serta Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan sekaligus presiden terpilih 2024. Ucapannya cepat viral, dan memantik diskusi di tengah publik mengenai keberlanjutan lingkungan, kebijakan pemerintah, dan tanggung jawab para pemimpin.
Suara Hati Seorang Mantan Menteri yang Tak Mau Diam
Susi Pudjiastuti memang bukan pejabat negara lagi, tapi ia belum berhenti menjadi penjaga laut dan suara bagi ekosistem air di Indonesia. Saat ia mengkritik keberadaan keramba-keramba jaring apung di Danau Toba, ia berbicara sebagai seorang yang peduli, bukan sekadar beropini politik. Dalam cuitannya, Susi menyebut bahwa praktik pembudidayaan ikan mas dan nila secara besar-besaran di danau alami telah mencemari air, mengganggu kehidupan biota asli, dan merusak daya tarik wisata yang menjadi andalan daerah.
Bagi Susi, keramba-keramba itu bukan hanya soal produksi pangan, tapi soal keadilan bagi alam. Ia menyebut bahwa danau bukanlah tempat untuk industri perikanan intensif. “Mau sampai kapan kita eksploitasi tanpa kendali dan tutup mata?” tulisnya dalam salah satu unggahan.
Pernyataannya ini sekaligus menjadi tamparan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan Danau Toba, termasuk pemerintah pusat dan daerah. Ia menyebut dua nama: Dedi Mulyadi, yang selama ini dikenal vokal soal budaya dan lingkungan, serta Prabowo Subianto, yang ke depan akan memimpin negeri ini sebagai presiden.
Menyinggung Dedi Mulyadi, Menguji Konsistensi Pejuang Alam
Salah satu nama yang disinggung oleh Susi adalah Dedi Mulyadi. Dedi selama ini dikenal sebagai tokoh Sunda yang vokal menyuarakan nilai-nilai lokal, adat, dan harmoni dengan alam. Dalam banyak video dan unggahan media sosialnya, Dedi kerap mempromosikan hidup sederhana, ramah lingkungan, dan menjaga alam sebagai bagian dari spiritualitas.
Namun menurut Susi, jika benar Dedi mendukung atau membiarkan keramba jaring apung di Danau Toba, maka ia sedang bertentangan dengan prinsipnya sendiri. “Kalau alam kita rusak, budaya pun akan kehilangan tempatnya berpijak,” kata Susi.
Pernyataan ini mengundang banyak reaksi. Ada yang membela Dedi dan menyebut bahwa pengelolaan keramba bisa diatur dengan pendekatan teknologi ramah lingkungan. Tapi banyak juga yang merasa kritik Susi sah-sah saja, mengingat fakta bahwa Danau Toba memang mengalami degradasi kualitas air akibat limbah industri dan perikanan.
Bagi publik, pernyataan Susi ini menjadi semacam ujian terhadap para tokoh yang kerap tampil sebagai pembela lingkungan. Konsistensi kini dipertaruhkan. Susi menolak untuk diam ketika alam jadi korban, meskipun harus berhadapan dengan nama-nama besar sekalipun.
Menyindir Prabowo, Menuntut Kepedulian Presiden Terpilih
Tak hanya Dedi, Susi juga menyentil Prabowo Subianto. Meski Prabowo belum menjabat sebagai presiden secara resmi, namanya tetap dibawa karena dianggap akan memegang peran besar dalam arah pembangunan lima tahun ke depan. Dalam cuitan yang cukup tajam, Susi meminta perhatian Prabowo untuk tidak melanjutkan pendekatan eksploitasi sumber daya tanpa memikirkan dampaknya.
Menurut Susi, Danau Toba sebagai kawasan super prioritas pariwisata nasional tidak seharusnya dikotori dengan praktik-praktik bisnis yang mengorbankan kualitas lingkungan. Ia bahkan menyebut, “Pariwisata dan perikanan intensif di danau alami itu kontradiktif. Pilih salah satu.”
Kritik ini membawa pesan penting: presiden terpilih tidak boleh hanya fokus pada pembangunan ekonomi, tetapi juga harus memastikan pembangunan tersebut bersifat berkelanjutan. Sebagai mantan menteri, Susi tahu betul bagaimana tarik-menarik kepentingan antara bisnis, politik, dan lingkungan. Ia bicara bukan untuk sensasi, melainkan untuk mengingatkan bahwa warisan alam jauh lebih penting dari pencapaian angka-angka.
Realitas Keramba dan Luka Lama Danau Toba
Isu keramba di Danau Toba bukanlah hal baru. Sudah sejak lama para aktivis lingkungan dan warga lokal mengeluhkan dampak dari industri perikanan intensif di danau tersebut. Limbah dari pakan ikan, sisa kotoran, hingga pengelolaan limbah yang buruk membuat kualitas air menurun drastis.
Tak hanya itu, muncul juga konflik horizontal antara nelayan tradisional dan korporasi yang mengelola keramba berskala besar. Ketimpangan sosial ini memperkeruh situasi di lapangan.
Susi, yang selama menjabat menteri dikenal tegas menindak pelaku pelanggaran di laut, melihat bahwa kerusakan ekosistem air bukan hanya terjadi di laut, tetapi juga di danau dan sungai. Dan ketika kerusakan ini dibiarkan demi alasan produksi atau ekonomi, maka dampaknya akan dirasakan oleh generasi berikutnya.
Itulah mengapa ia bersuara lantang. Karena diam berarti membiarkan kerusakan terus terjadi. Dan buat Susi, itu bukan pilihan.
Harapan Baru atau Pengulangan Lama?
Reaksi keras Susi Pudjiastuti membuka ruang diskusi yang lebih luas: apakah Indonesia siap membangun masa depan yang seimbang antara ekonomi dan ekologi? Apakah para pemimpin, baik yang sudah lama menjabat maupun yang baru akan naik, berani menjadikan keberlanjutan lingkungan sebagai fondasi kebijakan?
Susi hanya satu suara, tapi ia punya kekuatan karena rekam jejaknya jelas. Ia bukan pengkritik musiman, tapi seorang praktisi yang pernah mengubah wajah kementerian dengan pendekatan tegas dan visioner.
Kini, setelah ia kembali menyuarakan kegelisahannya soal Danau Toba, bola ada di tangan pemerintah. Apakah suara ini akan dijawab dengan kebijakan yang berpihak pada lingkungan, atau hanya dianggap sebagai riak yang bisa diredam?
Masyarakat pun semakin cerdas menilai. Mereka tak lagi hanya mendengar apa yang dikatakan para pejabat, tapi juga menilai apa yang dilakukan. Di sinilah letak tantangan terbesar bagi mereka yang hari ini disebut pemimpin.
Artikel ini juga bisa ditemukan di dailyinfo untuk pembaruan dan analisis isu lingkungan serta kebijakan publik.