
Dunia semakin maju dan terus berubah dengan cepat, namun tidak semua negara mampu mengikuti perubahan tersebut dengan stabilitas politik dan sosial yang. Beberapa negara justru semakin terjebak dalam lingkaran konflik, krisis kemanusiaan, dan kelemahan institusi negara. berikut ini enam negara yang saat ini berada dalam kondisi sangat rentan dan berpotensi menghadapi keruntuhan jika situasi internal mereka tidak segera membaik.
1. Sudan
Sudan berada di ambang kehancuran akibat konflik bersenjata yang melibatkan dua kekuatan militer besar: tentara nasional dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF). Pertempuran yang awalnya dipicu oleh perebutan kekuasaan itu kini telah berkembang menjadi perang skala penuh yang melumpuhkan infrastruktur dan memaksa jutaan warga mengungsi.
Lebih dari sekadar konflik militer, Sudan juga menghadapi bencana kemanusiaan. Distribusi makanan terganggu, akses kesehatan semakin terbatas, dan wilayah-wilayah yang sebelumnya aman kini menjadi zona bahaya. Jika tidak ada solusi diplomatik dalam waktu dekat, Sudan bisa menyusul jejak negara-negara gagal lainnya di Afrika.
2. South Sudan
Sejak memisahkan diri dari Sudan pada tahun 2011, South Sudan terus bergulat dengan konflik internal. Ketegangan antar kelompok etnis, lemahnya sistem pemerintahan, dan ketergantungan pada bantuan luar negeri membuat negara ini sangat rapuh. Meski sempat ada harapan lewat perjanjian damai, kekerasan masih sering terjadi terutama di daerah-daerah terpencil.
Selain itu, krisis iklim memperparah situasi. Banjir besar yang terus melanda membuat produksi pangan terganggu dan memaksa ribuan warga kehilangan tempat tinggal. Kombinasi antara konflik bersenjata dan bencana alam membuat South Sudan menjadi salah satu negara paling tidak stabil di dunia.
3. Myanmar
Setelah kudeta militer pada 2021, Myanmar berubah dari negara yang sedang bertransisi menuju demokrasi menjadi ladang pertempuran. Rakyat yang semula melakukan protes damai kini banyak yang bergabung dalam kelompok perlawanan bersenjata. Pemerintah militer terus melakukan serangan ke wilayah sipil, termasuk pemboman desa-desa yang dianggap mendukung oposisi.
Lebih parahnya lagi, pada tahun 2025 Myanmar dilanda gempa bumi besar yang menghancurkan sebagian wilayah tengah negara. Krisis kemanusiaan pun semakin memburuk. Banyak warga yang tak hanya kehilangan tempat tinggal, tapi juga kehilangan akses terhadap layanan dasar seperti air bersih dan obat-obatan. Negara ini kini berada dalam pusaran kekacauan yang sulit dipulihkan dalam waktu dekat.
4. Republik Demokratik Kongo (DRC)
Konflik bersenjata di bagian timur Republik Demokratik Kongo seolah tidak pernah berhenti. Kelompok-kelompok milisi bersenjata terus bertempur memperebutkan wilayah kaya sumber daya alam. Kekerasan seksual, pembunuhan massal, dan pengungsian besar-besaran menjadi gambaran nyata penderitaan rakyat di sana.
Kelemahan pemerintahan pusat memperparah keadaan. Banyak wilayah di negara ini yang praktis berada di luar kontrol pemerintah. Ketika negara gagal menjamin keamanan warganya, maka keruntuhan bukan lagi sebuah kemungkinan, melainkan hanya soal waktu.
5. Yaman
Yaman telah terjebak dalam perang sipil sejak 2015 dan hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Meski intensitas serangan sudah menurun, negara ini masih sangat terfragmentasi. Pemerintahan yang sah tidak memiliki kontrol penuh atas wilayahnya, sementara kelompok pemberontak masih aktif di berbagai daerah.
Kondisi ekonomi yang runtuh membuat masyarakat hidup dalam penderitaan. Krisis pangan meluas, dan jutaan anak-anak menghadapi malnutrisi. Di tengah minimnya akses terhadap air bersih dan fasilitas kesehatan, Yaman menjadi salah satu tempat paling menyedihkan untuk ditinggali saat ini.
6. Afghanistan
Sejak Taliban kembali berkuasa, Afghanistan mengalami kemunduran drastis dalam hal kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Banyak institusi pemerintahan yang tidak berjalan efektif, dan ekonomi nasional nyaris lumpuh total. Warga sipil hidup dalam ketakutan, terutama perempuan yang aksesnya terhadap pendidikan dan pekerjaan dibatasi secara ekstrem.
Di sisi lain, munculnya kembali kelompok ekstremis di beberapa wilayah memperbesar potensi konflik baru. Dengan tidak adanya pemerintahan inklusif dan partisipatif, Afghanistan perlahan-lahan kehilangan struktur kenegaraannya. Dunia internasional pun masih bingung bagaimana harus berinteraksi dengan rezim baru yang tidak diakui secara universal ini.
melainkan hasil akumulasi dari konflik, korupsi, bencana, dan kelemahan sistem pemerintahan. Jika tidak ada intervensi yang tepat dan berkelanjutan, kondisi mereka bisa memburuk dan membawa dampak luas, tidak hanya bagi wilayah mereka sendiri, tetapi juga bagi stabilitas global. Untuk mengikuti pembaruan isu-isu geopolitik seperti ini secara mendalam dan terpercaya, kamu bisa membaca ulasan terbaru lainnya di wikiberita.