beritabandar.com Pemerintah pusat resmi melarang pemerintah daerah (pemda) menaikkan nilai jual objek pajak (NJOP) dan tarif pajak bumi dan bangunan (PBB) pada tahun anggaran mendatang. Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 14 Tahun 2025 yang menjadi pedoman penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2026.
Kebijakan tersebut menjadi perhatian publik karena berkaitan langsung dengan beban pajak yang ditanggung masyarakat. Pemerintah ingin memastikan agar kebijakan fiskal di tingkat daerah tidak membebani rakyat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah.
Isi Pokok Aturan Permendagri
Dalam lampiran resmi Permendagri 14/2025, disebutkan bahwa pemerintah daerah dilarang menaikkan tarif PBB maupun NJOP dalam jangka waktu tertentu. Langkah ini diambil sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang masih berproses menuju pemulihan.
Pemerintah juga meminta agar pemda meninjau kembali kebijakan perpajakan daerah yang telah diberlakukan, terutama yang mengatur tentang tarif pajak atas kepemilikan tanah dan bangunan. Jika ada rencana kenaikan yang sudah disahkan dalam peraturan daerah (perda), maka pemda diminta menunda atau mencabut kebijakan tersebut.
Dalam penjelasannya, pemerintah menegaskan bahwa setiap kebijakan fiskal di tingkat daerah harus mempertimbangkan kesejahteraan rakyat. “Penetapan PBB serta kenaikan NJOP perlu mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat agar tidak menimbulkan beban tambahan, khususnya bagi kelompok berpenghasilan rendah,” tertulis dalam dokumen resmi.
Alasan Pemerintah Melarang Kenaikan NJOP
Pemerintah melihat bahwa selama dua tahun terakhir, sejumlah daerah telah melakukan penyesuaian NJOP dan tarif PBB dengan alasan menyesuaikan harga pasar tanah. Namun, di beberapa wilayah, kebijakan itu menimbulkan gejolak karena kenaikan dianggap terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan kemampuan bayar masyarakat.
Kondisi ekonomi yang masih belum sepenuhnya stabil juga menjadi alasan kuat larangan ini diterbitkan. Pemerintah ingin menjaga daya beli masyarakat agar tetap terjaga, sekaligus memastikan inflasi di sektor properti tidak meningkat.
Kenaikan NJOP biasanya berdampak langsung terhadap harga jual tanah, biaya administrasi kepemilikan, hingga ongkos pembangunan. Jika tidak dikendalikan, hal ini bisa memicu kenaikan harga rumah dan sewa properti di berbagai daerah.
Dampak Kebijakan bagi Masyarakat dan Pemda
Bagi masyarakat, larangan kenaikan NJOP dan tarif PBB tentu menjadi kabar baik. Warga dengan penghasilan tetap, terutama pensiunan dan pekerja sektor informal, tidak perlu khawatir menghadapi beban pajak yang lebih besar.
Namun, bagi pemerintah daerah, kebijakan ini akan berdampak pada sisi pendapatan. Pajak bumi dan bangunan merupakan salah satu sumber penerimaan penting dalam struktur pendapatan asli daerah (PAD). Tanpa kenaikan tarif, pemda harus mencari alternatif sumber pendapatan lain agar program pembangunan tidak terganggu.
Kementerian Dalam Negeri mendorong pemda untuk mengoptimalkan efisiensi belanja dan memperluas basis pajak tanpa menaikkan tarif. Misalnya, dengan memperbaiki sistem pendataan objek pajak, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, dan menekan kebocoran penerimaan daerah.
Langkah Penyesuaian yang Didorong Pemerintah
Selain menahan kenaikan NJOP, pemerintah juga meminta pemda melakukan evaluasi atas struktur tarif pajak yang berlaku saat ini. Evaluasi ini bertujuan memastikan tarif tetap proporsional, adil, dan sesuai dengan kemampuan ekonomi warga di wilayah masing-masing.
Pemda juga diminta memperhatikan potensi dampak sosial jika melakukan perubahan tarif secara tiba-tiba. Kenaikan pajak tanpa kajian yang matang dapat memicu resistensi masyarakat, terutama di wilayah perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi.
Untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah pusat akan memperkuat koordinasi dengan asosiasi pemerintah daerah serta badan pendapatan daerah di seluruh provinsi dan kabupaten/kota. Pendampingan teknis akan diberikan agar pemda tetap dapat menjaga stabilitas fiskal tanpa membebani masyarakat.
Pandangan Ekonom dan Pengamat Kebijakan
Sejumlah pengamat ekonomi daerah menilai larangan ini merupakan langkah tepat. Mereka menilai stabilitas ekonomi masyarakat harus menjadi prioritas dibandingkan peningkatan pendapatan jangka pendek.
Ekonom dari salah satu universitas negeri di Yogyakarta menyebut bahwa penyesuaian NJOP semestinya dilakukan secara bertahap dan transparan. “Kenaikan yang tidak dikomunikasikan dengan baik dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap pemerintah daerah. Jadi, moratorium sementara ini langkah yang bijak,” ujarnya.
Pengamat kebijakan publik lainnya menambahkan bahwa kebijakan ini juga memberi waktu bagi pemerintah daerah untuk memperkuat sistem pajak digital. Dengan digitalisasi data objek pajak, pemerintah bisa meningkatkan akurasi pendataan tanpa harus menaikkan tarif.
Pesan untuk Pemerintah Daerah
Melalui kebijakan ini, pemerintah pusat ingin menegaskan pentingnya keseimbangan antara kepentingan fiskal dan kesejahteraan publik. Pemda diharapkan tidak hanya mengejar peningkatan PAD, tetapi juga memperhatikan dampak sosial dari setiap kebijakan pajak.
Selain itu, transparansi dalam penggunaan dana pajak juga menjadi sorotan. Pemerintah menekankan bahwa masyarakat akan lebih patuh membayar pajak jika merasakan manfaat langsung dari pembangunan yang dilakukan.
Dengan demikian, kebijakan menahan kenaikan NJOP dan PBB bukan sekadar larangan administratif, melainkan bagian dari strategi menjaga stabilitas ekonomi nasional sekaligus membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Cek Juga Artikel Dari Platform kabarsantai.web.id
